Candi, arsitektur batu dan konstruksi serta teknologi batu adalah satu kesatuan. India memang menjadi titik asalnya. Dengan memakai batu sebagai bahan utama, pengkonstruksian bangunan dilakukan dengan dua teknik dasar yakni pertama teknik tumpuk dan kedua teknik sambung. Teknik tumpuk menghasilkan lempengan/bidang yang mengatas/vertical sedangkan teknik sambung menghasilkan lempengan yang menyamping/horisontal. Teknik kunci/sambung digunakan pula untuk menangani bagian bangunan yang membentuk belokan, dan karena itu dapat saja dikatakan sebagai teknik yang dipakai untuk menangani bagian pojokan.
Sebidang dinding adalah hasil utama dari penerapan teknik tumpuk dan sambung ini. Dinding yang terbentuk adalah lempengan yang pejal/massif dan dengan sendirinya tidak tembus pandang. Sekaligus, dinding ini menghasilkan pemisahan yang tegas antara yang di sini dengan yang di balik dinding; sebuah pemisahan yang tegas sehingga ayng di sini dengan yang di situ samasekali tak perlu ada perkaitan apapun juga. Karena itu, bila empat dinding dirangkai menjadi satu dan membentuk sebuah kotak, rongga di dalam kotak ini menjadi sangat tersembunyi dan terisolasi daro lingkungan di sekitar kotak tadi. Agar keterisolasian ini dapat ditiadakan, dinding harus diberi lubang. Pelubangan lalu menjadi sebuah persoalan konstruksi yang tersendiri, terutama pada bagian bidang dinding yang berada di atas lubang tadi. Konstruksi susunan batu harus memungkinkan batu-batu di atas lubang tadi masih dapat tetap menjadi dinding meskipun di bawahnya ada lubang yang menganga. Sementara itu, pojokan-pojokan dari kotak serta bagian dinding yang ada di kiri dan kanan lubang juga memerlukan penanganan konstruksi yang tersendiri agar kekuatan dan kekokohan dinding tidak berkurang menjadi semakin melemah.
Pengkonstruksian batu menjadi dinding berbentuk kotak dan berlubang memperlihakan penyelesaian arsitektural yang tertentu dan tersendiri. Yang terjadi di arsitektur batu India dengan yang arsitektur batu Eropa ternyata memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang cukup bena (significant). Perhatikan saja karya-karya arsitektur India dan Eropa dari abad 8-10, maka akan dengan nyata dapat disaksikan perbedaan garapan arsitekturalnya. Dengan perbedaan itu pula, bangunan percandian di Indonesia menjadi sangat tepat bila digolongkan ke dalam pengkonstruksian yang bercorak India. Perhatikan saja salah satu candi di kompleks percandian Gedong Sanga, Jawa Tengah, yang dibangun sebelum abad X Masehi. Kedekatan penanganan konstruksi dengan India cukup jelas, seperti hadirnya penebalan pada pojok dan pada bidang dinding di kiri-kanan lubangan; juga pada penggunaan batu dengan ukuran yang lebih besar dari batu yang dipakai untuk dinding. Sebatas penglihatan yang seperti ini, keIndiaan candi Gedong Sanga itu tidak dapat diingkari adanya.
Kejadiannya akan berbeda bila sekarang kita memberi perhatian yang seksama terhadap tata-wajah dari bangunan candi yang bercorak India tadi. Untuk itu, kita akan memberi perhatian pada pelipit dan penyelesaian dekoratif dan ornamental dari bangunan batu tadi.
Penebalan yang dilakukan pada pojokan-pojokan serta di kiri-kanan lubang telah menghasilkan sekurangnya dua efek visual yang pasti. Pertama, munculnya vertikalitas yang mengalahkan horisontalitas jejeran batu yang ditumpuk-tumpuk. Sosok keseluruhan banguan lalu mejadi terkesan lebih ramping sekaligus lebih menjulang. Yang kedua, pennjolan mengakibatkan lempengan dinding seakan terdorong ke belakang, menjadi sebuah lempengan yang berada di belakang tegakan-tegakan penonjolan pojokan. Timbullah latar depan dan latar belakang; terjadilah kemeruangan. Di sini, lubang pada bangunan menunjuk pada adanya ruang di dalam (di balik) dinding yang masif, menunjuk pada ruang yang nyata-nyata ada, menunjuk pada ruang ragawiah (physical space). Sementara itu, lempengan dinding yang seakan menjadi latar belakang itu adalah ruang maya (abstract space, virtual space). Bahwa lempengan dinding ini adalah ruang maya dapat dipermantap melalui lempengan dinding yang di kiri-kanan lubang. Di situ dihadirkan sosok manusia yang diperlihatkan sedang dalam keadaan tidak diam, sedang bergerak atau sedang akan bergerak. Sosok ini sepertinya sedang/akan bergerak dari dalam ke luar, atau sedang/akan beringsut dari kiri ke kanan. Sikap tubuh seperti ini sangat mungkin khas Indonesia (dank arena itu perlu dilakukan pemeriksaan pembandingan dengan yang India atau/dan di Asia Tenggara, tentunya dari abad yang sama).
Gejala hadirnya ruang maya menjadi semakin menarik. Perhatikan saja bidang dinding yang tidak dilengkapi dengan sosok yang sedang/akan bergerak. Oleh vertikalitas yang muncul sebagai kesan (berkat adanya penonjolan di pojok dinding), maka bidang dinding kosong ini menjadi menyempit, sedemikian sempitnya sehingga nyaris tidak berdaya dalam menghadapi kekuatan penonjolan yang tegak itu. Pengerjaan yang lebh dramatic dapat disaksikan dari salah satu penanganan pada lubangan candi. Di sini kekontrasan yang sangat kuat dihadirkan oleh tegakan itu dengan menghadirkan tegakan yang dipenuhi dengan ukiran. Pada bagian atas lubangan, batu dengan ukuran yang lebih besar dihadirkan dengan pnyelesaian ukiran berwajah seram. Tonjolan di pojok lalu menjadi pelaku utama bagi bidang tampang bangunan candi ini; sekaligus mengambil alih kemasifan dominasi dari sebdan dinding batu. Tonjolan tegak itu lalu menjadi tiang-tiang yang dijejer! Ya, tonjolan yang asalnya adalah garapan konstruksi untuk memperkuat bagian pojok dari kotak yang tebuat dari batu, kini telah menjadi sebuah unsur utama sebuah bangunan. Pertanyaannya, bangunan yang manakah yang menjadikan tiang sebagai unsur utama konstruksinya? Tak lain adalah bangunan kayu, ya, bangunan kayu.
Bangunan kayu dihadirkan pada konstruksi yang serba batu, ini bukan kerja yang gampang. Ini menuntut kemampuan yang jenius untuk memalih (transform) dua system konstruksi yang saling berlawanan watak dan teknik konstruksinya. Sampai saat ini, pemeriksaan terhadap candi-candi India dari masa sampai abad X Masehi, masih belum menghasilkan petunjuk adanya candi di India yang digarap seperti itu. Percandian di India masih hanya merupakan gubahan arsitektural dari konstruksi batu belaka. Mengandaikan bahwa candi Nusantara adalah buah karya arsitek India tentu kurang jitu, mengingat candi Nusantara menyerempakkan sistm dan teknologi kayu dan batu, sedang yang India hanya sistem dan teknologi batu saja. Pilihan akan siapakah arsiteknya terpaksa harus ditujukan pada arsitek Nusantara sendiri. Ya, para arsitek Nusantara yang sudah piawai dengan sistem dan konstruksi kayu melakukan perjalanan ke India untuk memperoleh pengetahuan tentang sistem dan konstruksi batu. Sepulang dari India, kerja kreatif dan usaha keras ara arsitek Nusantara ini telah mampu menghasilkan sebuah bangunan kayu yang dihadirkan pada bangunan batu. Sekarang, kalau saja dianggap bahwa yang India itu di jaman menjelang abad X adalah yang global, maka arsitek Nusantara menanggapi globalisasi itu dengan mengglobalkan yang Nusantara; bukan menusantarakan yang global. Mengapa demikian? Ya karena dalam percandian Nusantara ke-kayu-an menjadi latar depan sedang ke-batu-an menjadi latar belakang semata!