Sabtu, 30 Agustus 2008

Space (from a Javanese text, Serat Jatimurti. Courtesy of Josef Prijotomo)

ora ana jirim madheg dhewe, mesthi gumantung marang ananing kajaten
Space or volume depends upon existence, substance, or will.

ora ana jirim kang ora dumunung ing kajaten
Space or volume exists in existence, substance, or will.

jirim iku dudu kajaten, nanging jirim mujudake sisipataning kajaten, kayata: srengenge, manungsa, wit, sir, pikir, nur
Although volume or space is not existence or substance, or will, it is nevertheless volume or space which manifests the manifestation of existence, substance, or will.

Ora perlu nakokake sisipataning kajaten sok uga kawruhan jirime, awit sisipataning kajaten wis ana ing jirime
It is within the volume or space the nature of substance, existence or will, can be found.

jirim iku marakake kajaten kagungan sipat urip, mobah mosik, gnayu, matu, anjanma, nyrengege. Samono uga kajaten iku dudu jirime, dudu uripe, dudu mobah mosike, dudu kayune, watune, jalmane utawa srengengene. Lah kang endi ta kang jeneng kajaten? patrape nyatakake ora kena mung nganggo pikiran, kudu nganggo rasa kang sajati, awit pikiran iku mung bisa nyatakake jirim.
It is volume or space which ascribes the nature of existence. Existence or substance, or will, is not the volume or space nor the aforementioned nature. Logic alone can perceive volume or space, but it cannot perceive existence or substance, or will. Existence, substance or will, can be perceived by “the ultimate perception” (rasa kang sajati).

The question is: what is “the ultimate perception” herewith? Considering that Serat Jatimurti is a product of post-Walisongo Java, can “the ultimate perception” herewith be related to neo-platonic, or the similar-with-neo-platonic, metaphysics held by Javanese (as in “manunggaling kawulo gusti”)? The Reality, as, for instance, the Reality as perceived by Syekh Siti Jenar, cannot be perceived through logic alone. The Reality can only be perceived through a different mode of perception; a more total perception. Is this the mode of perception required to perceive kajaten?

Some other questions can also be raised. Comment le sense du mot « kajaten »? It is translated herewith as existence, substance, or will. However, does kajaten share the same notion with “existence” in Western existentialist sense? Does it share the same notion with “substance” (geist) in the German idealist sense? If “kajaten” can be translated as “will,” is it similar to the “will” that Schopenhauer mentioned?

I suspect, however, a probability that the Javanese notion of “kajaten” is not precisely the same as the aforementioned Western European notions of existence, substance or will. I need helps and advise on this matter, in order to understand the serat
---------------------------

Here is my sketchy first attempt to comprehend the theory in the text (by comparing it with Western European theory):

Serat Jatimurti states that volume or space depends upon existence, substance or will. In fact, volume or space exists in existence/substance/will.

Yet on the other hand, in the serat it is also stated that the nature—or corporeal manifestation—of existence/substance/will is defined by volume/space.

Here we can see a difference from Western theory. In Western tradition of philosophy, there has been a question, which is rather like the egg-chicken question: which one comes first, presence/existence or essence? As we know, Heidegger said that essence precedes presence/existence. Sartre believed vice versa. This effects the question on space. Does space precedes essence (so it provides the essence to be), or is space an effect of essence? From this debate, we can notice that in Western tradition, there is a separation between space and essence. If space is corporeal, then essence is transcendental.

Perhaps it is due to such separation that in the twentieth century some thinkers and theorists—who are associated with phenomenology, such as Heidegger and Norberg-Schulz—discussed the notions of space and place. Space is corporeal thing which is associated with something rather positivistic (recall how Mies perceived space, not place, within Cartesian grid system), whereas place contains a rather spiritual (“spirit” in term of geist or Sein) baggage. They needed to differentiate the notions of space and place precisely due to the separation.

The case is rather different, however, when we discuss Javanese theory of space. Space (jirim) and essence (kajaten) are not dichotomies. In order to be, space needs essence, and essence needs existence.

Space (jirim) can only be due to essence (or perhaps will, in a rather Schopenhaurean sense). Yet without space, essence (kajaten) would be meaningless, or un-perceived. Essence would be rendered unimportant when it cannot be perceived.


Such interconnection between the corporeal (in this case, space) and the transcendental (in this case, essence), may remind one with some segments within Western thoughts. For instance, Spinoza (who would in turn influence Deleuze).

1 komentar:

m. nanda widyarta mengatakan...

(Ini dari Pak Josef Prijotomo)

Petikan dari kajian berjudul ‘Kajian Volume-Ruang di Arsitektur Jawa – 1994

Ruang

Mengingat bahwa kajian ini memusatkan perhatian pada dua hal utama yakni pertama, perhatian pada ruang arsitektur, dan yang kedua adalah pada primbon, maka telaah teoretik berikut ini akan dibatasi hanya pada dua pokok tadi.
Sebagai sebuah pedoman yang dipakai orang Jawa untuk merancang rumah tinggal beserta segenap kelengkapan bangunan yang diperlukan, Primbon pada umumnya dan petungan pada khususnya adalah salah satu (boleh jadi adalah satu-satunya) pedoman tertulis yang tersedia. Memperhatikan pasal-pasal yang terdapat dalam petungan nampak jelasbahwa pedoman tersebut menata dan mengatur perletakan dan peng- ukuran dari bagunan dan tapak. Dimaksud dengan Perletakan ialah penempatan unsur demi unsur banguan dengan mengikuti tatanan dan aturan yang tertentu, sedangkan yang dimaksud Pengukuran ialah penetapan besaran dari sesuatu unsur atau gugus massa bangunan atau bangian dari unsur atau gugus itu. Juga merupakan pengertian dari pengukuran adalah penetapan jarak antara satu gugus dengan gugus yang lain,atau antara unsur-bangunan yang satu dengan yang lain.
Baik perletakan maupun pengukuran yang ditata dan diatur oleh petungan, sebagaimana akan ditunjukkan dalam penelitian ini (dan dalam hal ruang-arsitektur) oleh P.M.Laksono) membatasi dirinya hanya dalam hal ruang-arsitektur. Lebih dipertegas lagi, menggarap dan memperinci ihwal Volume dan Ruangan. Dimaksud dengan volume adalah besaran dan isi dari ruang arsitektur sebagaimana ditunjukkan oleh adanya ukuran dan/atau geometri dari sesuatu ruang-arsitektur, sedangkan yang dimaksud dengan ruangan adalah ruang-arsitektur yang telah memiliki kualitas arsitektur atau suasana yang telah tertentu. Pembedaan seperti di atas diperlukan mengingat bahwa secara teoretik ruang-arsitektur terbagi menjadi beberapa jenis dan/atau kategori, corak dan klasifikasi.(Bruno Zevi dengan lengkap menguraikan hal itu dalam Architecture as Space).
Sementra itu, pengkajian terhadap petungan Jawa sebagaimana tertera dalam Primbon-primbon Jawa menuntut kita untuk memperhatikan dan menggarap ihwal bilangan, satuan-ukuran, sebutan bagi ukuran tertentu, watak atau sebutan atas hasil penghitungan, dan dalam keadaan tertentu juga dengan jenis atau nama bangunan. Kesemua faktor atau unsur ini bersatupadu kedalam sebuah kesatuan yang disebut ruang-arsitektur. Apabila setiap faktor/unsur serta kesatupaduannya menjadi ruang-arsitektur itu dapat dipahami dengan baik, tidaklah mustahil akan dapat digubah dan disusun sebuah pemahaman yang khas Jawa. Untuk mendapatkan lan- dasan bagi pemahaman seperti ini, van der Laam telah melontarkan pokok pikiran yang mampu menjaring landasan pengertian tentang masing-masing faktor/unsur maupun kesatupaduannya ke dalam sebuah ruang-arsitektur.
Dalam "Architectonic Space" van der Laam menegaskan bahwa kita dapat memiliki dan menguasai ruang-arsitektur lewat tiga jenjang kesempatan. Jenjang pertama, sekaligus merupakan jenjang yang terendah adalah pemilikan ruang-arsitektur dengan pergerakan badaniah/ragawi yang kita selenggarakan. Pada jenjang ini sebuah rumah misalnya, akan menjadi sebuah ruang-arsitektur yang layak-huni (habitable). Jenjang yang kedua berada "di atas" jenjang pertama yakni pemilikan dengan melakukan visualisasi terhadap bentuk ruang dan massa-bangunan. Pada jenjang seperti ini rumah yang kita contohkan tadi mendapatkan wujudnya, menjadi layak-pandang (visible). Di atas jenjang kedua adalah jenjang ketiga, yang adalah jenjang yang oleh van der Laam ditetapkan sebagai jenjang yang tertinggi, merupakan jenjang di mana pemilikan ruang arsitektur dilakukan dengan mendapatkan sebuah wawasan terhadap dan tentang "spatial quantity". Pada jenjang ini sebuah rumah akan menjadi sebuah bentukan yang layak-tahu (knowable). Tabel 1 berikut ini menggambarkan penjenjangan tadi.
Selengkapnya, kutipan dari tulisan van der Laam tentang perjenjangan itu adalah
We can thus take possession of space not only through physical movement within it, or by visualizing the form of space and mass, but also by gaining a rational insight into spatial quantity. The house must perform its intermediary role at each of this levels:by means of the house space becomes for us at once habitable, visible, and knowable. (h. 45)

jenjang tindakan status
pertama pergerakan badaniah/ragawi layak-huni
kedua visualisasi ruang dan massa layak - pandang
ketiga wawasan atas kuantitas ruang layak-tahu

Tabel 1: Jenjang pemilikan ruang-arsitektur menurut van der Laam


Memang, perjenjangan seperti di atas bukanlah yang satu-satunya bagi khasanah teori ruang-arsitektur. Christian Norberg-Schulz dalam "Existence, Space,and Architecture" misalnya, menyodorkan lima jenjang ruang-arsitektur. Akan tetapi, karena pusat perhatian Norberg-Schulz tidaklah pada volume sebagai kesatupaduan faktor/unsur beserta pamahaman terhadap faktor/unsur itu sendiri (Norberg-Schulz lebih memusatkan perhatian pada topologi tertentu ruang-arsitektur), pikiran-pikiran van der Laam inilah yang ditetapkan sebagai landasan teoretik bagi kajian ini. Kembali pada pokok-pikiran van der Laam, sekaligus melanjutkan pemahaman terhadap apa yang disebut oleh van der Laam "Spatial quality". Sebutan ini dikemukakan oleh van der Laam dengan konteks bahasan yang telah tertentu, dan karena itu memiliki arti dan makna yang tertentu pula. Seseorang dapat "memiliki" dan "menguasai" ruang-arsitektur dengan me- nentukan besaran dan/atau ukuran dari ruang-arsitektur. Kegiatan ini menurut kemampuan tertentu dari manusia sebab pengukuran adalah kegiatan yang menuntut adanya campurtangan yang dominan dari akal dan nalar (ratio). Disinilah "spatial quality" itu dipahami sebagai kemampuan dalam menyelenggarakan peng-kuantitas-an atas ruang-arsitektur, dan bukannya aspek kuantitatif dari ruang-arsitektur telah tersirat dalam jenjang pertama dari van der Laam (bandingkanlah aspek kuantitatif ini dengan "personal places" dari Robert Sommer, khususnya pada bab I dari buku tadi). Yang dimaksud dengan peng-kuantitas-an ruang-arsitektur, termasuk menyelenggarakan penjumlahan terhadap banykanya ruang-arsitektur tadi. Untuk lebih jelas lagi, kutipan berikut ini kirannya akan dapata memberikan kejernihan landasan-pikir tentang besaran dari ruang-arsitektur.

We make size the object of our knowledge by measuring it. This involves comparing the size with a yardstick a known unit of size. The relation to this unit is expressed as a number determined by how many times the unit can be applied to the size to be measured. The how-muchness of continuous quantity is thus expressed in terms of the how-manyness of discrete quantity. (h.46)

Dalam kutipan di atas nampak jelas faktor/unsur yang mutlak diperlukan bagi kegiatan mengu- kur dan menjumlahkan ruang-arsitektur. Yang penting untuk dikenali dari kutipan di atas adalah kemampuan ukuran untuk mengubah "how-muchness" menjadi "how-manyness", yakni meng- ubah ukuran dalam aspek kualitatif menjadi ukuran dalam aspek kuantitatif. Lebih lanjut lagi, van der Laam meyakini betapa pentingnya satuan-ukuran (yardstick, a known unit of size) dalam praktek pengukuran dan penetapan besaran dari ruang-arsitektur. Ini ditunjukkannya lewat kutipan di bawah ini.

This way of measuring with an established unit is of great practical and social importance. The agreed unit of measure attaches a sort of label to each quality, which not only makes it recog- nizable but also guarantees it. Only against the background of an organized society do the numbers by which continuos qualitty is denoted give us a certain knowledge of that quality.
(h. 46)



Rongrongan

Salah satu sebutan/nama yang sangat perlu untuk diperhatikan oleh pengkajian atas ruang-arsitektur di arsitektur Jawa adalah sebutan "rongrongan". Sebutan lain yang sepadan pentingnya adalah "rengrengan". Keduanya merupakan kata dalam bahasa Jawa yang berkait langsung dengan ruang-arsitektur. `Rongrongan' berarti harfiah dalam bahasa Indonesia: "bilik di antara tiang rumah", sebuah terjemahan yang dengan serta merta memungkinkan kita untuk langsung mengerti siapakah dimaksud langsung oleh sebutan tadi. R. Ismoenandar K. (1986) juga memberikan penjelasan yang sama, bahkan lebih tegas dan "teknis" yakni:

...istilah ini untuk menyebut ruangan yang dibentuk oleh empat buah tiang dan terletak di antara dua buah pengeret. Jumlah rongrongan tergantung dari jumlah pengeretnya. Bila rumahnya mempunyai dua buah pengeret, maka menjadi sebuah rongrongan, bila mempunyai tiga buah pengeret akan membentuk dua buah rongrongan, begitu seterusnya. Rongrongan tersebut merupakan dasar untuk menentukan ruang-ruang di dalam rumah yang dibangun yang biasanya dibatasi dengan penyekat. Tapi kalau rumah itu memakai pendhapa (beranda) berarti pendhapa tadi berfungsi sebagai rongrongan tanpa penyekat. (h. 44)<:f>

Melihat arti dari rongrongan dengan lebih seksama, dan sekaligus dengan meletakkannya ke dalam konteks ruang-arsitektur, terdapatlah hal-hal yang menarik untuk dipahami lebih lanjut lagi. Pertama, rongrongan itu sebuah volume ataukah sebuah ruangan? Pernyataan ini dilontarkan karena dalam penjelasannya Ismoenandar menyebut `ruangan' dalam menjelaskan apa yang dimaksud dengan rongrongan tadi. Akar kata rongrongan adalah `rong', yang berarti, dua, liang, relung (gunung), ceruk (S. Prawiroatmojo, 1980,h.149). Dengan mengesampingkan dahulu arti rong = dua, perhatian kita terhadap arti rong sebagai sebuah liang, relung, atau ceruk dengan segera mengingatkan kita pada pengertian dan arti "space" Lao Tsu. Pengertian ini sangat lazim di dunia arsitektur, yakni bagian kosong dari sebuah jambangan di mana kita dapat menyelenggarakan pendayagunaan atas jambangan itu sendiri (lih.FDK.Ching: Architecture: Form, Space and Order; h.106; bandingkan pula dengan Amos Ih Tiao Ching; The Tao of Architecture; h.14). Ini berarti bahwa ruang adalah bagian dari `sesuatu yang lain' (yang dalam kasus Lao Tsu adalah bagian dari jambangan), dan bukan sebaliknya yaitu `sesuatu yang lain' adalah bagian dari ruang. Dengan kata lain, ruang ini terbentuk atau ter-ada-kan oleh, dan sekaligus menjadi bagian dari sesuatu yanglain. Demikian juga halnya dengan rong. Rong adalah sebuah liang bila dia merupakan sebuah lubang (bagian kosong atau kekosongan) ke dalam tanah, dengan ingatan dan pengertian bahwa tanah telah ada terlebih dahulu, dan lubang ini sekaligus menjadi bagian dari tanah itu sendiri. Rong adalah sebuah lubang (bagian kosong atau kekosongan) yang terdapat di gunung, bukit, atau lahan yang bertopografi lereng. Serupa dengan relung adalah ceruk. Dari penjelasan-penjelasan tadi nampak jelas bahwa sebuah rong memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. yang disebut rong adalah bagian yang kosong, rongga dari sesuatu di mana rong itu berada
b. menjadi bagian dari sesuatu yang lain yang sekaligus merupakan pembentuk dan penentu dari keberadaan rong itu sendiri
c. hanya memiliki satu bidang yang tak tertutup, sedangkan seluruh bagian bidang atau permu- kaan yang lainya dibiarkan tertutup
d. sesuatu yang lain yang membentuk rong adalah obyek alam, bukan sebuah obyek buatan manusia. Sebuah liang, walaupun bisa dibuat oleh manusia adalah sebuah rong karena tanah dimana liang tadi dibuat adalah obyek alam
e. meskipun sebuah rong memiliki bangun atau raut geometri (atau non-geometri) tertentu, bangun atau raut itu sendiri tidak ikut menjadi penentu bagi ciri dan identifikasi sebuah rong
f. bukanlah sebuah gua yaitu liang besar (pada kaki gunung dan sebagainya) (Kamus Umum Bahasa Indonesia; h.329).

Dari sebuah rong ini, tak mudah bagi kita untuk mengidentifikasinya sebagai sebuah ruang-geometri maupun sebagai sebuah ruangan. Di sini kita hanya berkemampuan untuk mengidentifikasi rong sebagai sebuah volume.

Inti analisa yang dilakukan bukanlah terhadap rong, tetapi terhadap rongrongan. Sebuah kata jadian dari rong, kata rongrongan ini menunjuk pada kelompok dan kelas kata tertentu. Rongrongan bukan sebuah rong yang sesungguhnya, meskipun dia dianggap dan digolongkan ke dalam kelompok rong. Ciri-ciri dan identifikasi dari rongrongan sebagai berikut:

a. jenis tertentu dari sebuah ruang-arsitektur
b. bukan sebuah rong tapi tetapi diperlukan, dianggap, dan dipadankan dengan rong itu sendiri. Ini berarti bahwa sebuah rongrongan adalah bagian dari `sesuatu yang lain', sekaligus dibentuk oleh sesuatu yang lain tadi
c. mengacu-balik pada penjelasan Ismoenandar, pada galibnya rongrongan dikelilingi oleh bi- dang-bidang penutup yakni penyekat. Jadi sebuah rongrongan menganggap dirinya ditutupi. Oleh karena itulah dapat dimengerti mengapa Ismoenandar kemudian mengatakan bahwa pendhapa memiliki rongrongan yang tak berpenyekat
d. tidak memutlakkan obyek alam sebagai sesuatu yang lain, sehingga bisa saja obyek buatan manusia yang dijadikan sebagai `sesuatu yang lain' tadi. Dalam hal ini, sesuatu yang lain yang membentuk rongrong- an adalah apa yang oleh Ismoenandar dijelaskan dengan menunjuk pada blandar dan pengeret
e. dengan menunjuk blandar dan pengeret, dan bukannya menunjuk pada bangun/geometri kotak yang terbentuk oleh blandar dan pengeret, jelaslah bahwa rongrongan tidak mempersoalkan bangun atau geometri yang dimilikinya. Bahwa dalam arsitektur Jawa raut persegi-panjang atau bujursangkar merupakan raut dari penggabungan balok dan/atau tiang, bukanlah alasan untuk menetapkan raut itu sebagai raut dari gabungan blandar dan pengeret
f. besaran yang dimiliki oleh sebuah rongrongan, sebagaimana diisyaratkan oleh Ismoenandar, nampaknya sepenuhnya ditentukan oleh panjang blandar, pengeret, tiang atau penyekat. Lebih lanjut lagi, penyekat ini besar perannya dalam menentukan jumlah atau banyaknya rongrongan yang dimiliki oleh sebuah gugus bangunan.

Dengan pencirian dan identifikasi seperti terurai di atas, nampak pula bahwa yang dituju oleh sebuah rongrongan adalah volume, dan bukannya bangun-ruang atau ruang-geometri; bukan pula ruangan sebab sebuah ruangan mensyaratkan permukaan bidang sebagai bagian utuh dari ruang, bukan bagian dari bentuk-arsitektur. Ciri-ciri dan identifikasi seperti tersebut di atas membuka jalan untuk menelusuri pertalian-pertalian dasar antara rong dan rongrongan. Yang dimaksud di sini adalah keberadaan dan gagasan sebuah rongrongan sebagai sebuah ruang-arsitektur. Sebuah rong bukanlah sebuah gua; sebaliknya, sebuah rong adalah sebuah ruang-arsitektur yang tidak menunjuk pada watak `introvert', yakni watak mengisolasi, mengasingkan diri atau menutup-diri dari lingkungan dan sekitar dimana dia berada. Segenap watak ini dengan jelas dapat kita temui pada relung dan pada ceruk, baik yang ada di alam maupun yang tertampil di percandian. Dinding-dinding yang mengitari rong tidaklah berperan untuk mengisolasi rong dari sekitarnya, tetapi justru untuk membentuk dan menyatakan, sekaligus menentu- kan watak dan ciri khusus dari rong itu sendiri. Jikalau sebuah rongrongan adalah gubahan (ruang-arsitektur) yang dihadirkan dengan gagasan dan keberadaan yang meniru (imitate) sebuah rong, semestinyalah dikatakan bahwa rongrongan tidak hadir bagi pengisolasian atau pemisahan-diri terhadap sekitarnya. Artinya, sebuah rongrongan hadir untuk menyatakan keterbukaan. Di situ, penyekat samasekali tidak dapat dipahami sebagi pemisah dan pemutus hubungan dengan sebelahnya, melainkan sebagai unsur bangunan yang untuk membuat rong, Sebagai sebuah unsur bangunan, penyekat ini semestinya dipahami pula sebagai unsur besaran volume, yakni memberi kepastian bagi ukuran panjang, lebar, atau tinggi dari volume yang bernama rongrongan tadi. Di situ penyekat (dan juga blandar, pengeret, dan saka/tiang) menempati kedudukan yang sangat panting bagi volume, tak peduli apakah di situ dia hanyalah ditangkap keberadaannya dari segi ukurannya belaka.
Dengan penelusuran ini dapatlah selanjutnya dicari ketegasan tentang pertalian antara rongrongan dengan volume. Kesamaan pokok yang terdapat di antara keduanya adalah dalam hal keduanya merupakan ruang-arsitektur yang menggunakan besaran dari ruang-arsitektur sebagai pambatas definisinya. Sementara itu, apabila volume menunjuk pada besaran kuantatif dan terukur menurut satuan-satuan ukuran yang telah tertentu, rongrongan menunjuk pada sebuah satuan ukuran itu sendiri. Di sini rongrongan dapat dijajarkan dengan apa yang oleh dunia arsitektur dikenal dengan: modul. Dengan demikian kita dapat mengatakan adanya volume yang besarnya adalah dua-rong, tiga-rong, dan seterusnya.