Rabu, 26 November 2008

Semar and His Fart (in Indonesian, by Josef Prijotomo)

1
Mari kita coba lakukan pengkaitan antara kentut semar dengan rongrongan. Dengan menganggap bahwa kentut semar adalah sebuah ruang arsitektur, maka di sini suara an bau menjadi faktor penunjuk adanya ruang yang dikontrol secara langsung oleh jarak. Maksudnya, jarak adalah penentu bagi terbau dan tidaknya bau kentut; juga menjadi penentu bagi terdengar atau tidaknya bunyi kentut. Dengan demikian, bau, bunyi dan jaak (atau volume) merupakan faktor-faktor ‘pembentuk’ ruang tadi. Perhatikan bahwa penglihatan samasekali tidak diikutsertakan sebagai factor, dan dengan demikian boleh saja dikatakan bahwa dalam dunia Jawa keberadaan ruang itu memang tidak berkaitan dengan ihwal keterlihatan, ruang memang tidak terlihat, itulah yang dikenal oleh Jawa mengenai ruang arsitekturnya.
Agar supaya penyandingan dengan rongrongan dapat lebih mudah dilakukan, rasanya akan lebih baik bila terlebih dulu menyandingkan ruang semar ini dengan ruang Plato.

2
Sekarang sandingkanlah ruang semar dengan ruang versi Plato, yang juga mengenal volume (atau jarak/ukuran). Bagi Plato, geometri juga menjadi factor bagi adanya ruang. Geometri diambil oleh Plato karena ruang itu dipikir, dan salah satu hasil dari kerja pikiran adlah geometri, pengetahuan tentang mengukur/keterukuran bumi, atau menjadi lebih popular dengan ilmu bentuk.. Selanjutnya, meski geometri menunjuk pada bumi, tetapi Plato tidak menunjuk pada bumi sebagai obyek nyata/riil, melainkan menunjuk pada abstraksi yang ditarik dari kehadiran visual bumi. Platonic solid lalu menjadi geometri yang menyertai ruang tadi. Perhatikan, di sini Plato menangani geometri dengan menggunakan penglihatan sebagai medium untuk mendapatkan geometri tadi.
Bagaimanakah halnya dengan semar dengan ruang kentutnya? Dalam kasus semar, bumi bukan lagi sebuah keterlihatan melainkan sebuah keterdengaran dan keterbauan. Baik bau maupun bunyi tidak dengan langsung bisa diabstraksikan menjadi geometri, dan upaya untuk mengabstraksikan geometrinya hanya akan sia-sia adanya, mengingat baik bau maupun bunyi tidak berurusan dengan penglihatan. Jadi, pemikiran Jawa tentang ruang tidak dilakukan dengan melibatkan penglihatan maupun geometri (=abstraksi atas yang terlihat). Dengan memaksakan diri saja kita bias mengabstraksikan baud an bunyi itu sebagai sebuah bangun bola. Selanjutnya, kalau kita sandingkan lagi antara Plato dengan semar, keterlibatan penglihatan dalam Plato lalu memungkinkan untuk menghasilkan geometri yang tanpa batas, mengingat penglihatan juga tanpa batas (kita masih bias melihat bintang yang jauhnya jutaan tahun cahaya), penglihatan mampu nutk menunjuk jarak yang tak berhingga. Tidak demikian halnya dengan bau dan bunyi, mereka ini hanya berhadapan dengan keberhinggaan. Dengan demikian, ruang semar adalah ruang yang berhingga, ruang yang terukur jaraknya. Di luar jangkauan bunyi dan bau, bukan lagi ruang namanya. Apa nama bagi yang diluar jangkauan bau dan bunyi, saya masih belum menemukannya.
Berkenaan dengan keberhinggaan dan ke-tak-berhingga-an, menjadi terkuak pula bagaimana Jawa dan Plato memikir tentang bumi dan pengetahuan. Keberhinggaan menjadi ranah dari pemikiran Semar, sedang ketakberhinggaan adalah ranah dari pikiran Plato. Pemikiran semar lalu menjadi pemikiran ‘liyan’ bagi pemikiran Plato.

3
Rongrongan bisa berarti rong yang sebenarnya (sebagai kata majemuk), naun bisa pula berarti seperti rong, rong buatan, bukan rong sesungguhnya meskipun sangat mirip dengan rong. ‘rong’ sendiri adalah sebuah lubang di tanah yang menjadi tempat tinggal cengkerik, gangsir dan beberapa binatang lainnya. Tergali ke dalam tanah, rong dengan langsung merupakan sebuah tempat yang gelap, sebuah tempat yang tidak memberi tempat bagi penglihatan untuk berperan. Bau dan bunyi dari binatang penghuni rong lalu menjadi penunjuk kuat bagi adanya rong disekitar kita (tentunya kalau kita sudah akrab dengan bau dan bunyi tadi). Ini berarti bahwa adanya sebuah rong di sekitar kita dapat diyakini manakala bau atau bunyi dari rong dapat sampai ke indra pendengaran atau pembauan kita, dan bukan penglihatan kita! Di sini, jarak terjauh dari bau dan bunyi bukan penunjuk atas besarnya volume rong, melainkan jarak bagi kemampuan mengenal adanya sesuatu rong. Bila demikian halnya, maka di samping rong yang adalah ruang beserta volumenya, ada pula wilayah ruang, yakni sebuah luasan yang membuat kita mampu mengetahui adanya rong dengan menggunakan bau dan dengaran. Wilaah itu pula yang rupanya merupakan ‘tempat’ (place) mengingat dari wilayah itulah kita bisa berkesempatan untuk memperoleh keyakinan bahwa di sana ada rong/ruang. Tempat dan Ruang bukan lagi berhimpitan, melainkan tempat itu melingkungi ruang!
Dari gambaran yang terakhir tadi, kehadiran sesuatu rong/ruang menjadi berkaitan langsung dengan tempat. Tetapi perhatikan, I sini tempat itu tidak menunjuk dengan tepat di manakah ruang berada; tempat adalah kawasan di mana orang lain berkesempatan untuk mengetahui bahwa di situ ada ruang, dan orang itu mesti melakukan penelusuran lagi untuk dapat sampai pada rong/ruang. Apa artinya? Artinya aalah sebagai berikut ini. Membuat rong/ruang tidak hanya meliputi pengadaan volume, melainkan mengadakan pula tempat, mengadakan sebuah kawasan yang memungkinkan orang lain untuk mengenal dan akhirnya menemukan volume/rong/ruang yang diadakan. Peristiwa seperti ini ternyata juga lumrah terjadi di masyarakat Jawa. Untuk memberitahu di manakah rumah saya, orang lain tidak kita beri alamat rumah kita, melainkan tanda-tanda di lingkungan sekitar rumah saya, misalnya, di timurnya pohon trembesi, dua rumah seteleh belokan ketiga, dan sebagainya.

4
Kini saatnya ruang semar dengan rongrongan. Radius bau dan bunyi kentut semar adalah sector pananggap dari sebuah rumah Jawa; sedangkan sang semar, sang rong, adalah sector guru dari rumah Jawa!


sektor guru
sektor pananggap

Tidak ada komentar: